Suyoto Phenomenon
DI panggung politik nasional, nama Suyoto mungkin masih asing. Bahkan di jajaran tokoh-tokoh politik lokal pun, popularitasnya masih jauh, misalnya, jika dibandingkan dengan Basuki T, Wardaya alias Ahok, mantan bupati Belitung Timur yang meninggalkan jabatannya untuk merebut kursi gubenur Bangka Belitung namun kalah secara tragis. Atau bupati Jembrana, Prof Dr I Gede Winasa, peraih piagam Musium Rekor Indonesia (MURI) lantaran persentase suaranya tertinggi dalam sejarah pilkada, yakni 88,56%. Kini, Winasa bahkan lebih populer karena belum lama ini dikabarkan “menculik” wartawati salah satu surat kabar terkemuka di Bali.
Siapakah Suyoto? Meskipun ayah dan ibu mertuanya warga Nahdlatul Ulama (NU), Suyoto adalah kader Muhammadiyah tulen. Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) dalam usia yang sangat muda (32 tahun), Ketua DPW PAN Jawa Timur, sekretaris Yayasan Syafii Maarif, dan Ketua Yayasan Indonesia untuk Semua. Ia baru saja memenangkan pemilihan Bupati Bojonegoro, Jatim, daerah yang dihuni mayoritas warga NU
Kemenangan Suyoto menjadi fenomenal karena membalik logika semua pihak: (1) ia bukan kandidat yang berlimpah materi; (2) pada awalnya tidak memiliki popularitas, bisa dikatakan hampir tak dikenal; (c) bahkan pada saat menawarkan diri untuk menjadi wakil bupati pun ditolak oleh kandidat lain karena dianggap remeh.
Tapi, di luar pengetahuan banyak pihak, Suyoto punya niat tulus dan tekad yang kuat. Dengan keterbatasan dana, sejak sembilan bulan lalu ia sudah bekerja pagi, siang, malam, dengan cara mendatangi hampir semua pesta (pernikahan, sunatan, dan lain-lain), menyalami semua tamu yang hadir seraya memperkenalkan diri; berkunjung ke pasar-pasar tradisional; dan yang lebih menarik, selama sembilan bulan itu pula, ia tak segan-segan menginap di rumah-rumah keluarga miskin secara bergantian, berdialog dengan para tetangga hingga menjelang subuh. Setelah shalat subuh, ia baru tidur, itu pun hanya sekitar 1-2 jam. Kebutuhan tidurnya banyak dipenuhi di mobil saat dalam perjalanan. Dalam kerja kerasnya, Suyoto sengaja menghindari publikasi media untuk lebih mengesankan dirinya sebagai underdog. Barangkali, faktor inilah yang membuat calon lain terkecoh.
Jika dicermati lebih jauh, kemenangan Suyoto telah memberikan sejumlah pesan: Pertama, bahwa faktor politik identitas yang selama ini banyak diekploitasi para kandidat karena dianggap memiliki keampuhan dalam menarik dukungan rakyat ternyata tidak terbukti. Suyoto membuktikan bahwa rakyat memilih bukan karena faktor ke-NU-an atau ke-Muhammadiyah-an. Artinya, jika mau sedikit kreatif, jauh lebih baik bagi para kandidat untuk menawarkan program, integritas pribadi, dan kualitas, ketimbang harus mengemis restu dari tokoh golongan ini atau itu.
Kedua, tidak benar bahwa dana yang melimpah menjadi faktor penentu kemenangan kandidat dalam Pilkada. Dengan dana yang minimal pun jika dibarengi kemauan yang keras dan kerja keras, niscaya akan menang.
Ketiga, kekuatan media cetak dan elektronik hanya efektif sebagai alat kampanye untuk wilayah-wilayah yang luas seperti provinsi atau tingkat nasional. Untuk di tingkat kabupaten atau kota, kampanye door to door, memperkenalkan diri dan berdialog dari hati ke hati jauh lebih efektif.
Last but not least, kemenangan Suyoto --juga kemenangan Nur Alam (Sultra), Abdul Gafur (Malut), Syahrul Yasin Limpo (Sulsel), dan Syarif Hidayat (Kota Tasikmalaya)-- menunjukkan bahwa rakyat sudah cukup cerdas. Incumbent yang belum mampu memberikan perbaikan buat kehidupan mereka akan mendapatkan punishment pada saat pemilu berikutnya. Untuk itu, bagi semua incumbent di level mana pun yang akan mengikuti pemilu, waspadalah, rakyat tengah mengevaluasi kalian!***
Monday, December 17, 2007
KALIBRASI <- - - - gagasan Jeffrie Geovanie
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment